Fakultas Teknik

Kontak

Kategori
Uncategorized

Jika Jalan Tidak Layak Fungsi, Polisi Lalulintas Jangan Menilang

Mediasindonews.com | Pekanbaru – (Taufik Agus Mulyono 2022) Jika jalan yang ada ternyata tidak memiliki sertifikat layak fungsi, sebagai akibat dari kondisi geometrik jalannya yang tidak standar serta poin keamanan dan keselamatan jalan lainnya, maka secara berkeadilan seharusnya pengendara tidak boleh ditilang meskipun ada razia.

Karena razia itu dilakukan pada ruas jalan yang memang sudah layak fungsi. Mungkin ini agak sedikit berbeda dengan fenomena yang terjadi selama ini. Ketika ada “pelanggaran lalu lintas” dilakukan oleh pengendara, maka pihak pengendara akan dikenakan tilang oleh polisi.

Penilangan ini dilakukan secara elektronik (ETLE).Namun akibat keterbatasan dalam pelaksanaannya makapihak kepolisian akan kembali menerapkan tilang manual. Tentu ada banyak faktor yang mendorong perlunya penerapan tilang manual.

Jadi bukan semata-mata karena adanya keterbatasan anggaran kepolisian untuk mengirimkan surat tilang ektroniknya. Namun juga adanya“ ketidakpatuhan” masyarakat pengendara di banyak ruas jalan. Mungkin sebagian dari pengendara tahu bahwa ETLE tidak berfungsi efektif sehingga jikapun mereka“ melanggar” peraturan lalulintas, maka mereka belum tentu akan terkena tilang atau denda.

Nah, kali ini saya ingin melihatnya dari sudut kalayakan tilang dilakukan disuatu ruas jalan oleh pihak kepolisian. Pelanggaran lalu lintas sesungguhnya bukan hanya terjadi pada ruas jalan dimana polisi akan mencegatan melakukan pemeriksaan kendaraan.

Dan pelanggaran bukan hanya soal kelengkapan surat dan kendaraan, namun juga soal kelengkapan jalan.Jika kita bicara soal kelengkapan jalan, maka harus diakui bahwa mayoritas jalan nasional, provinsi, kabupaten dan kota, belum memiliki sertifikat layak fungsi.

Karena tidak memiliki sertifikat layak fungsi, maka tentu saja pengendara seolah tidak ada penuntun dan pengarahan mereka bisa terlihat tertib berlalulintas. Ada banyak jalan yang tidak memiliki marka tidak ada bahu jalan, tidak ada lampu penerangan, tidak ada rambu batasan kecepatan dan rambu lainnya.

Sehingga, ketertiban berlalu lintas menjadi sangat bergantung pada pengetahuan, pemahaman dan kepatuhan pengendara itu. Dan ini adalah bagian yang paling sulit untuk terwujud jika mengandalkan“ kesadaran” pengendara.

Jadi kelengkapan jalan adalah hal yang seharusnya terpenuhi ketika ada pengendara yang tidak mematuhi rambu- rambu dijalan, maka disitulah pihak pengendara boleh ditilang. Kalau kita lihat persyaratan kelayakan fungsi jalan maka ada banyak sekali jalan yang tidak layak fungsi.

Kiita berharap ada penegakkan aturan berlalu lintas yangsl sejalan dengan kelengkapan jalan. Sehingga tolok ukur ketidaktertiban bukan hanya di kertas dan diskresi. Tetapi memang segala bentuk aturan tersebut terpampang diruas jalan. Sehingga pengendara menjadi tahu soal aturan apa yang berlaku dijalan tersebut dan jika melanggar aturan berarti mereka tidak boleh komplain jika ditertibkan.

Jika jalan yang ada ternyata tidak memiliki sertifikat layak fungsi, sebagai akibat dari kondisi geometrik jalannyayl yang tidak standar, serta poin keamanan dan keselamatan jalan lainnya, maka secara berkeadilan seharusnya pengendara tidak boleh ditilang meskipun ada razia. Karena razia itu dilakukan pada ruas jalan yang memang sudah layak fungsi.

Hal ini disampaikan bukan soal berpihak pada pengendara yang melanggar. Namun soal tertib aturan di pelaksanaan pembangunan jalan manajemen lalulintas ,dan penegak anaturan oleh pemerintah. Sehingga jalan raya kita akan semakin rapi, tertib,aman dan nyaman.

Dengan begitu, pengendara juga menjadi terarahkan oleh rambu/penanda“ pengarah lulintas. Jika aturan sertifikat kelayakan jalan ini dapat berlaku diseluruh ruas jalan raya kita, maka para pengendara harus siap-siap ditilang atau bahkan dihukum karena melanggar aturan dijalan raya.

Apalagi aturan soal kelayakan jalan ini sudah diatur dalam peraturan yang berlaku. Pihak PU, kepolisian dan perhubungan sudah tahu adanya aturan ini.

Penulis: H Abdul Kudus Zaini. MT, MS, TR, IPM (Program Studi Jurusan Teknik Sipil Universitas Islam Riau)

Kategori
Uncategorized

Kota Batam? Mengapa Ada konflik di Pulau Rempang

Mediasindonews.com | Pekanbaru – Kasus yang terjadi di Pulau Rempang Batam sebenarnya sangat mengusik keprihatinan kita, Rabu (13/9/2023).

Persoalannya bukan soal kita prihatin adanya konflik itu sendiri saja, juga bukan terkait dengan adanya rencana pihak swasta mengelola pulau itu dengan janji akan ada investasi ratusan triliun dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan, tetapi yang menimbulkan keprihatinan kita adalah soal kebijakan dalam pemanfaatan ruang.

Pemanfaatan ruang ini sudah pasti disusun oleh ahli atau konsultan yang ditunjuk untuk merancang peruntukan pulau. Tidak ada yang salah dalam peruntukan pulaunya yang mungkin dialokasikan ke pengembangan kota baru agar bisa memiliki kesejajaran dengan Singapura.

Dari sisi itu tidak ada yang bisa kita polemik-kan yang menimbulkan keinginan untuk mendiskursuskannya adalah soal kebijakan pemanfaatan ruang yang tidak menjadikan penghuni awal sebagai pihak yang seharusnya paling diuntungkan dari pengembangan suatu ruang tertentu.

Padahal seharusnya dalam perencanaan tata ruang, pihak yang pertama kali kita pastikan akan mendapatkan kebermanfaatan dari pengembangan suatu daerah adalah penghuni daerah tersebut. Dan apalagi mereka adalah penghuni awal daerah tersebut.

Jangan sampai masyarakat setempat yang memang sudah menghidupkan daerah tersebut dan juga mendapatkan penghidupan dari lahan di mana tempat mereka tinggal ini, dirampas oleh visi tertentu yang disusun dengan mengabaikan keberadaan mereka.

Nah kalau kita melihat dari sisi ini maka kita tentu mempertanyakan kepekaan perencana ruang yang dipakai oleh pemerintah. Karena seharusnya perencana ruang ini sangat memahami betul bahwa penghuni awal dari pulau tidak boleh disingkirkan.

Bahwa keberadaan mereka perlu ada perlindungan, saya kira itu bahkan harusnya menjadi suatu hal yang digarisbawahi. Jadi mereka yang memang sudah tinggal di sana harus dilindungi eksistensinya dan kepentingannya, dan bahwa kemudian muncul kegiatan lainnya, maka kegiatan lain tersebut harus menghormati dan menempatkan kampung tua dan warganya itu sebagai elemen penting dari suatu upaya menjaga keseimbangan dan eksistensi seluruh aktivitas yang ada di pulau tersebut.

Tapi sayangnya arahan dalam pengembangan kawasannya tidak seperti itu. Hal ini dibuktikan dengan adanya kebijakan untuk menyingkirkan penghuni lama dari kampung tua yang ada di sana. Malah konsepnya adalah memindahkan warga setempat ke tempat baru yang membuat masyarakat tercerabut dari kehidupan asli dan tradisional yang mereka miliki.

Padahal sudah sangat jelas disampaikan oleh masyarakat bahwa mereka menjaga kampung adat dan mereka juga menjaga kampung tua yang ada di sana. Jadi eksistensi mereka untuk menjaga budaya harusnya dihargai dan dihormati.

Tetapi konsep pengembangan wilayahnya malah mengabaikan eksistensi masyarakat dan budaya yang selama ini hidup dan berkembang di daerah tersebut. Konsep baru yang dibawa yaitu menjadikan pulau tersebut sebagai pulau dengan citra suatu kota yang maju dan modern, dan tercerabut dari akar budaya pulau itu sendiri.

Nah dari sisi ini tentu saja kita melihatnya bahwa perlu ada perencanaan ulang yang lebih berpihak pada warga setempat. Fenomena ini selalu saja saya temukan di berbagai macam
dokumen tata ruang. Dimana setiap ruang yang direncanakan selalu saja menimbulkan kerugian pada warga yang bermukim di lahan yang direncanakan tersebut.

Dan ini tentu saja menimbulkan rasa anomali dan sangat tidak berkeadilan. Gentrifikasi nampaknya meluas dan terlegalkan dalam dokumen tata ruang di Indonesia.

Sehingga saya berharap agar Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI) bisa membuat variabel yang berkaitan dengan upaya untuk memastikan bahwa tidak terjadi pengabaian dan penyingkiran terhadap penduduk asli ruang yang direncanakan oleh konsultan perencanaan ruang.

Setiap warga yang ada di sana yang memang penduduk asli harus dijaga eksistensinya. Mereka tidak boleh menjadi pihak yang tersingkirkan dari adanya perencanaan tata ruang yang disusun oleh konsultan perencanaan wilayah dan kota.

Saya mengkhawatirkan hal ini dapat saja terus terjadi jika tidak ada aturan main dalam perencanaan tata ruang yang melihat ruang dan penghuni awalnya sebagai suatu kesatuan yang harus dilindungi.

Itulah sebabnya di dalam struktur tata ruang dibuatkan berbagai macam guna lahan karena ada peruntukan lahan kepada penduduk setempat. Silahkan saja ruang yang lainnya dikomersialisasikan tetapi keberadaan kampung tua sebagai sebuah entitas penting untuk menjaga keseimbangan kehidupan sosial selama ini, haruslah terus dijaga.

Saya juga meminta kepada konsultan di Riau menyusunnya dan biasanya mereka tergabung dalam Ikatan Ahli Perencana (IAP) Indonesia, agar dapat memiliki kesadaran yang utuh terkait dengan perencanaan tata ruang yang memiliki keberpihakan kepada penduduk setempat. Sekarang kita tinggal melihat dampak dari apa yang direncanakan yang kemudian menimbulkan kerugian pada masyarakat.

Harusnya ini kesadaran semua pihak bahwa ternyata perencanaan tata ruang yang mengabaikan eksistensi penduduk asli telah menimbulkan geger budaya dan juga geger mental bagi masyarakat yang ada di sana, terutama anak-anak dan kaum wanita.

Sebagai kesimpulannya, saya sangat berharap agar pemerintah dapat meninjau ulang dokumen tata ruang yang menempatkan pulau ini sebagai pulau kota baru. Kota barunya tetap bisa dibuat tetapi kita tinggal melihat dari sisi struktur ruangnya apakah ada upaya untuk menjaga eksistensi penduduk asli. Jika masih belum ada upaya untuk menjaga eksistensinya maka perlu ada revisi rencana tata ruang disana.

Revisi ini menempatkan penduduk sebagai entitas penting dalam pengembangan pulau. Lalu dalam tahapan lainnya adalah menempatkan konsep sebagaimana yang direncanakan untuk menjadikan pulau ini sebagai pulau kota baru. Dan ketika kota baru ini dikembangkan dan juga beroperasi, tidak menempatkan penduduk asli sebagai pihak yang harus disingkirkan.

Tetapi menjadi pihak yang paling penting untuk dijaga kelestariannya karena peran masyarakat adat ini yang sudah sangat besar dalam menjaga keberlangsungan pulau dan eksistensi pulau selama berpuluh tahun sebelumnya.

Penulis: H Abdul Kudus Zaini. MT, MS, TR, IPM (Program Studi Jurusan Teknik Sipil Universitas Islam Riau)

Kategori
Uncategorized

943 Mahasiswa Baru Fakultas Teknik Ikuti PKKMB Fakultas dengan Antusias dan Semangat

Tahun Akademik 2023/2024 telah dimulai yang ditandai dengan berlangsungnya PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru) baik ditingkat Universitas hingga Fakultas. Pada Kamis hingga Jumat (14-14/09/2023) Fakultas Teknik gelar PKKMB yang diikuti oleh 943 mahasiswa/i baru dari enam Program Studi (Prodi).

Adapun enam Prodi tersebut ialah Prodi Teknik Sipil, Prodi Teknik Perminyakan, Teknik Mesin, Planologi/Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK), Teknik Informatika, dan Teknik Geologi.

Antusias dan semangat mahasiswa/i baru yang mengikuti PKKMB tingkat fakultas terlihat saat Rektor UIR Prof. Dr. H. Syafrinaldi, S.H., M.C.L beserta jajaran diantaranya Wakil Rektor I Dr. H. Syafhendry, M.Si., Wakil Rektor II Dr. Firdaus AR, S.E., M.Si., AK. Ca, Wakil Rektor III Dr. Admiral, S.H., yang didampingi oleh Kabag Humas dan Protokoler Dr. Harry Setiawan, M.I.Kom.

“Alhamdulillah mahasiswa baru cukup antusias dan bersemangat ikuti PKKMB hari ini. Memastikan PKKMB tingkat Fakultas berjalan lancar, kondusif serta terkendali merupakan tanggung jawab kita bersama,” ujar Rektor

Selanjutnya, Tim Panitia PKKMB Fakultas Teknik yang terdiri dari Dosen, Pegawai, dan Mahasiswa menyiapkan berbagai rangkaian acara seperti Academic Spiritual Motivation oleh KH. Misran Agusmar, Lc., penyampaian materi mengenai visi misi struktur fakultas, akademik, kemahasiswaan dan keuangan disampaikan oleh WD I, II, dan III.

Dilanjutkan dengan kegiatan tour fakultas dengan mengunjungi masing – masing laboratorium Prodi, materi mengenai kurikulum, kegiatan perkuliahan, catur dharma dan motivasi oleh alumni berprestasi oleh masing – masing Prodi, serta orasi oleh Ormawa (Organisasi Mahasiswa) se lingkungan Fakultas Teknik yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik, HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), MAPADELIMA Hangtuah, dan FSI.(rls/hms)